Candi Cetho yang Indah
Awalnya saya tidak tahu perihal candi cetho, saya baru dari postingan teman-teman di IG, banyak yang memosting foto sedang berlibur ke candi cetho. Kok kayak nya menarik dan rekomendasi untuk di kunjungi. Akhirnya saya pun merencakan untuk jalan-jalan ke tempat tersebut dengan teman-teman.
Perjalanan menuju ke tempat tersebut adalah tantangan tersendiri, apalagi bagi pengendara motor, karena memang jalannya yang menanjak dan berkelok. Jika memang kendaraan Anda tidak kuat jalan di tanjakan, lebih baik urungkan niat Anda. Karena memang jalannya memang sangat menanjak, jika memaksakan diri sangat beresiko motor tidak kuat. Tetapi jika Anda sampai, Anda tidak akan kecewa, pemandangan nya indah dan udaranya sejuk.
Tiket masuk Rp 7.000, bayar di loket, lalu untuk adat di tempat tersbut, pengunjung harus mengenakan kain jarik/batik. Selain sebagai tempat wisata, candi cetho juga sebagai tempat wisata.
Sebelum masuk, kita disuguhi beberapa anak tangga, tidak capek kok, cuma beberapa tetapi ya cukup lah untuk pemanasan, sambil berfoto foto untuk menghilangkan lelah.
masuk ke dalam kita akan di suguhi pemandangan yang eksotis, candi ini memang tak semegah borobudur atau prambanan, tetapi candi ini menyuguhi hal yang lain, bentuk candi yang berundak, pemandangan yang indah dan udara yang sejuk, serta karya seni yang tak terpikirkan.
Referensi lain : Candi Ceto merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit (abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut[1], dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga
peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan
tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.
Laporan ilmiah pertama mengenai Candi Ceto dibuat oleh van
de Vlies pada tahun 1842[1]. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian
mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dan penemuan
objek terpendam dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala
(Commissie vor Oudheiddienst) Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika
reruntuhannya mulai diteliti, candi ini diperkirakan berusia tidak jauh berbeda
dari Candi Sukuh, yang cukup berdekatan lokasinya.
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu
pada 14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur,
meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan
teras saja. Strukturnya yang berteras-teras ("punden berundak")
memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan Hinduisme.
Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada
relief-relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh
cenderung tampak depan. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode
sejarah Hindu-Buddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh.
Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh
Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah
banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap
dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para pakar arkeologi,
mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi
yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original
adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu
tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon,
Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak
punden.
Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina
Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi,
menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian
timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.
Pada keadaannya sejak renovasi, kompleks Candi Ceto terdiri
dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar,
pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk
(yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman.
Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat
Dusun Ceto.
Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada dinding
kanan gapura terdapat inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuno
berbahasa Jawa Kuno berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira
ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397[1]. Tulisan ini ditafsirkan
sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun
pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat
sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura
raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus
(penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan
tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam
semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat
penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol
hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka,
atau 1451 era modern. Dapat ditafsirkan bahwa kompleks candi ini dibangun
bertahap atau melalui beberapa kali renovasi.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua
dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti yang
terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat
Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat
bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa
tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada
aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara
merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos
(banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang
diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut
"kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam
wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan
pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir
(kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini
terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah
bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum
melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan
candi, dengan menuruni lereng, ditemukan sebuah kompleks bangunan candi yang
kini disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").
No comments:
Post a Comment